Just try to do the best

Cari Blog Ini

Senin, 18 Mei 2009

Pacaran

Apakah Anda Pacaran...???



Istilah pacaran itu sebenarnya bukan bahasa hukum, karena pengertian dan
batasannya tidak sama buat setiap orang. Dan sangat mungkin berbeda dalam
setiap budaya. Karena itu kami tidak akan menggunakan istilah `pacaran`
dalam masalah ini, agar tidak salah konotasi.

I. Tujuan Pacaran
Ada beragam tujuan orang berpacaran. Ada yang sekedar iseng, atau mencari
teman bicara, atau lebih jauh untuk tempat mencurahkan isi hati. Dan
bahkan ada juga yang memang menjadikan masa pacaran sebagai masa
perkenalan dan penjajakan dalam menempuh jenjang pernikahan.
Namun tidak semua bentuk pacaran itu bertujuan kepada jenjang pernikahan.
Banyak diantara pemuda dan pemudi yang lebih terdorong oleh rasa
ketertarikan semata, sebab dari sisi kedewasaan, usia, kemampuan finansial
dan persiapan lainnya dalam membentuk rumah tangga, mereka sangat belum
siap.
Secara lebih khusus, ada yang menganggap bahwa masa pacaran itu sebagai
masa penjajakan, media perkenalan sisi yang lebih dalam serta mencari
kecocokan antar keduanya. Semua itu dilakukan karena nantinya mereka akan
membentuk rumah tangga. Dengan tujuan itu, sebagian norma di tengah
masyarakat membolehkan pacaran. Paling tidak dengan cara membiarkan
pasangan yang sedang pacaran itu melakukan aktifitasnya. Maka istilah apel
malam minggu menjadi fenomena yang wajar dan dianggap sebagai bagian dari
aktifitas yang normal.
II. Apa Yang Dilakukan Saat Pacaran ?
Lepas dari tujuan, secara umum pada saat berpacaran banyak terjadi hal-hal
yang diluar dugaan. Bahkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa aktifitas
pacaran pelajar dan mahasiswa sekarang ini cenderung sampai kepada level
yang sangat jauh. Bukan sekedar kencan, jalan-jalan dan berduaan, tetapi
data menunjukkan bahwa ciuman, rabaan anggota tubuh dan bersetubuh secara
langsung sudah merupakan hal yang biasa terjadi.
Sehingga kita juga sering mendengar istilah Chek-In, yang awalnya adalah
istilah dalam dunia perhotelan buat mereka yang menginap. Namun hotel pada
hari ini juga berfungsi sebagai tempat untuk berzina pasangan pelajar dan
mahasiswa, selain pasangan tidak syah lainnya. Bahkan hal ini sudah
menjadi bagian dari lahan pemasukan hotel sendiri dengan memberi
kesempatan untuk short time, yaitu kamar yang disewakan secara jam-jaman
untuk pasangan di luar nikah.
Pihak pengelola hotel sama sekali tidak mempedulikan apakah pasangan yang
melakukan chek-in itu suami istri atau bulan, sebab hal itu dianggap
sebagai hak asasi setiap orang.
Selain di hotel, aktifitas percumbuan dan hubungan seksual di luar nikah
juga sering dilakukan di dalam rumah sendiri, yaitu memanfaatkan kesibukan
kedua orang tua. Maka para pelajar dan mahasiswa bisa lebih bebas
melakukan hubungan seksual di luar nikah di dalam rumah mereka sendiri
tanpa kecurigaan, pengawasan dan perhatian dari anggota keluarga lainnya.
Data menunjukkan bahwa seks di luar nikah itu sudah dilakukan bukan hanya
oleh pasangan mahasiswa dan orang dewasa, namun anak-anak pelajar menengah
atas (SLTA) dan menengah pertama (SLTP) juga terbiasa melakukannya. Pola
budaya yang permisif (serba boleh) telah menjadikan hubungan pacaran
sebagai legalisasi kesempatan berzina. Dan terbukti dengan maraknya kasus
`hamil duluan` dan aborsi ilegal.
Fakta dan data lebih jujur berbicara kepada kita ketimbang apologi. Maka
jelaslah bahwa praktek pacaran pelajar dan mahasiswa sangat rentan dengan
perilaku zina yang oleh SISTEM HUKUM DI NEGERI INI SAMA SEKALI TIDAK
DILARANG. Sebab buat sistem hukum sekuluer warisan penjajah, zina adalah
hak asasi yang harus dilindungi. Sepasang pelajar atau mahasiswa yang
berzina, tidak akan bisa dituntut secara hukum. Bahkan bila seks bebas itu
menghasilkan hukuman dari Allah berupa AIDS, para pelakunya justru akan
diberi simpati.
III. Pacaran Dalam Pandangan Islam
a. Islam Mengakui Rasa Cinta
Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika
seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa.
Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.
`Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak,
kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .`(QS. Ali
Imran :14).
Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mengejwantahkan rasa cinta
itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling
penting dari semua itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila
seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk
memperlakukannya dengan cara yang paling baik.
Rasulullah SAW bersabda,`Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang
yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang
yang paling baik terhadap istriku`.

b. Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada Dalam Wujud Ikatan Formal
Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan
manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan
itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan
ketertarikan sesaat.
Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak
mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta
belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi
cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang
disaksikan oleh orang banyak.
Bahkan lebih `keren`nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada
pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki
yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan
wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi
seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan `pengayomnya`.
Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas
bahunya.

Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `the real gentleman`.
Karena dia telah menjadi suami dari seorang wanita. Dan hanya ikatan
inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang
gentlemen atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya
menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi the real man.

Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan
terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan,
pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah
membenarkan semua itu. Kecuali memang ada hubungan `mahram` (keharaman
untuk menikahi). Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam
saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama
Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi
penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak
pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang
menyerampet kesana.
Sedangkan pemandangan yang lihat dimana ada orang Islam yang melakukan
praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya
manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan
hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental
dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah
dilanda degradasi agama.
Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan
permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada
sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari satu sudut
pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada
agama lain, bahkan justru lebih parah.
c. Pacaran Bukan Cinta
Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran,
sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media
untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak
berentu sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu
kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting
dan diteruskan dengan janji bertemua langsung.
Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang
terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan
formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara
mereka. Bahkan tidak ada ketentuan tentang kesetiaan dan seterusnya.
Padahal cinta itu memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga
kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat,
sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.
d. Pacaran Bukanlah Penjajakan / Perkenalan
Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling
melakukan penjajakan, perkenalan atau mencari titik temu antara kedua
calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu
tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya dari data yang
diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.
Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang
jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda
Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu.

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,`Wanita itu dinikahi
karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4]
agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. (HR. Bukhari
Kitabun Nikah Bab Al-Akfa` fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha` Bab
Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661)
Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih
pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak
mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah
ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting.
Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebaga ta`aruf. Jauh lebih
bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan
pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja.
Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up,
berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal
nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.
Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana
terbaik dan juga lebih sering bertemua dengan suaminya dalam keadaan tanpa
parfum. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah
mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani
hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.
Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah
penjajakan yang jujur, sebaliknya sebuah penyesatan dan pengelabuhan.
Dan tidak heran kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun
segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal
mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan
hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.


Share:

0 Komentar:

Translate This Website